Seperti yang kita ketahui bersama sudah 3 tahun lamanya para warga desa Timbrangan dan Tegaldowo, Kecamatan Gunem, wilayah selatan Kabupaten Rembang menolak pendirian pabrik semen yang dibangun oleh korporasi indistri PT.Semen Indonesia. Bukan tanpa alasan, penolakan tersebut berdasarkan kekhawatiran potensi terjadinya kerusakan lingkungan yang nyata di kawasan pegunungan Kendeng yang hijau dan subur. Bagi mayoritas masyarakat Timbrangan dan Tegaldowo, pegunungan Kendeng merupakan sumber penghidupan sehari-hari karena mereka mencari nafkah dengan bercocok tanam seperti bertani dan berkebun. Didirikanya pabrik semen di wilayah tersebut tentu akan mengancam sumber kehidupan masyarakat dan kerusakan alam yang bisa memicu terjadinya bencana alam.
Perjuangan masyarakat Kendeng untuk menolak pendirian pabrik semen merupakan sebuah tekad yang bulat, ketika sudah berjuang pantang untuk mundur sedikitpun, seperti seorang pelaut yang sudah mengibarkan layar kapalnya pantang kembali untuk pulang sebelum mengarungi samudera yang maha luas. Para masyarakat pegunungan Kendeng mendirikan tenda perjuangan di tapak pabrik semen di tengah gunung bokong yang jauh dari pemukiman penduduk, atapnya hanya terbuat dari terpal dan alasnya hanya terbuat dari tikar seadanya, jika hujan pastilah air tetap akan merembes membasahi isi tenda. Para ibu-ibu warga desa tinggal di tenda secara bergantian, sedangkan para bapak dan anak yang harus mengerjakan pekerjaan rumah, sesekali mereka juga menjenguk ibu di tenda walau hanya sebentar. Hanya warga desa yang diizinkan datang dan berkunjung ke tenda perjuangan, warga selain ber-KTP desa tidak diizinkan untuk datang dan berkunjung, bayangkan saja seorang narapidana di penjara saja boleh dijenguk tetapi para ibu di tenda perjuangan tidak, negara macam apa ini?.
Perjuangan di tenda tidak semudah yang kita bayangkan, intimidasi oleh pihak semen dan aparat sudah menjadi makanan sehari-hari bagi mereka, mereka sudah terbiasa dan tidak perdulikan, anggap saja hanya kerikil kecil dalam sebuah perlawanan dan perjuangan. Belum lagi cuaca yang tidak menentu membuat mereka harus waspada dari panasnya matahari dan dinginya malam gunung bokong. Semuanya mereka lalui dengan ikhlas dan pasrah, tak ada perjuangan tanpa pengorbanan, kata pepatah. Mereka setiap hari berdoa agar pabrik semen segera hengkang dari wilayahnya dan merekapun berjanji pantang pulang jika pabrik semen masih didirikan di wilayah mereka.
Tidak hanya itu, perjuangan mereka juga lakukan dengan cara aksi demonstrasi ketika sidang gugatan izin pendirian pabrik semen di PTUN Semarang berlangsung. Mereka ramai-ramai datang dengan puluhan truck yang berisi ratusan warga dari pegunungan Kendeng, jika aksi dilakukan pada pagi-siang hari, mereka berangkat dari Rembang biasanya pukul 03.00 pagi, disaat sebagian orang masih tertidur pulas dan menyelam dalam mimpinya masing-masing. Anak-anak, pemuda, tua, bapak, ibu, sepuh mereka datang untuk ikut dalam barisan massa aksi menuntut pembatalan izin pendirian pabrik semen di Rembang. Mereka patungan untuk menyewa sound dan truck, tidak ada LSM atau donatur yang membiayai sepeserpun, dana yang terkumpul merupakan uang dari kantong warga sendiri dan jika lebih digunakan untuk membuat atribut dan slogan Tolak Pabrik Semen seperti selebaran ataupun poster.
Aksi demonstrasi warga Kendeng juga tidak hanya di PTUN Semarang saja, tetapi juga dilakukan di Kantor Gubernuran, tempat ndoro gubernur duduk manis di rumahnya dan sampai juga ke Istana Negara di Jakarta tempat tuan presiden menjalankan kegiatan kenegaraan. Bahkan mereka juga melakukan aksi menyemen kaki di depan istana yang bertujuan untuk mengetuk hati para pemimpin kita tentang pentingnya upaya pelestarian lingkungan dan ketahanan pangan yang selalu didengungkan oleh gubernur dan presiden yang mengaku berideologi marharnisme ini dan secara tegas akan mengusung trisakti Bung Karno dalam menjalankan pemerintahanya.
Ketika hasil sidang yang menolak gugatan warga Rembangpun mereka terima dengan ikhlas, walaupun putusanya tidak menimbang fakta-fakta yang terjadi di lapangan. Hakim hanya mempersoalkan syarat-syarat administrarif daripada melihat hal yang lebih subtansial. Perjuangan mereka tidak berhenti disitu saja, tetapi mereka melakukan upaya hukum yakni mengajukan banding ke PTTUN Surabaya. Mereka berjuang tidak secara anarkis dengan menggunakan kekerasan, tetapi perjuangan yang mereka tempuh menggunakan prosedur hukum yang berlaku. Pantang bagi mereka untuk berbuat yang tidak baik apalagi sampai menyakiti orang lain.
Tidak hanya warga Rembang saja yang berjuang, akademisi, seniman, mahasiswa dan publik figur pun bersolidaritas terhadap pejuang di pegunungan Kendeng yang terus istiqomah melawan korporasi industri semen yang menghisap rakyat. Mereka selalu menemani dan berdiri dalam satu barisan melawan persekongkolan pemerintah dan korporasi. Lantas apakah kita hanya diam saja melihat perjuangan warga Kendeng? jika kita mempunyai hati nurani yang masih berbicara, tidak tuli dan tidak bisu, pasti kita akan berempati dan bersolidaritas terhadap mereka.
Namun, para ibu-ibu Kendeng yang biasa disebut Kartini Kendeng akan menangis jika mengetahui, melihat dan mendengar ada sebagian kaum terpelajar dan intelek yang melacurkan harga dirinya sebagai akademisi dengan mendukung pihak semen dan menjadi bagian semen dalam upaya meligitimasi bahwa semen akan memberikan dampak positif bagi masyarakat yang tentunya itu hanya sebuah isapan jempol belaka tanpa adanya realisasi yang nyata dan sebagai upaya meredam perlawanan warga.
Beberapa waktu yang lalu kita tahu bahwa ada akademisi bersaksi pada sidang dengan keterangan yang ngawur dan tidak sesuai dengan fakta yang ada, para wargapun mendatangi kampus tempat para akademisi belajar dan mengajar, mereka ingin menuntut para akademisi tersebut untuk berbicara sesuai kaidah ilmiah bahwa seorang akademisi boleh salah tetapi tidak boleh berbohong. Apakah seorang akademisi bisa tergadaikan nalarnya hanya dengan segepok uang belaka? sungguh naif sekali.
Terbaru ada Ikatan Mahasiswa Rembang Yogyakarta yang mengadakan acara musik dengan sponsor PT. Semen Indonesia. Ini lebih memprihatinkan dan menyakitkan, lebih-lebih yang menyelenggarakan adalah mahasiswa Rembang tempat dimana para Kartini Kendeng berjuang dan melawan. Sungguh tidak bisa dibayangkan hati dan perasaan para pejuang Kendeng di selatan Rembang ketika tahu ada anak cucunya yang malah mendapat sponsor dari pihak yang mereka lawan. Hati mereka pasti teriris seolah-olah ada kaum terpelajar yang mengkhianati perjuangan mereka. Sudah sepantasnya mahasiswa bergerak berdasarkan hati nurani, karena hati nurani adalah suara yang paling jujur. Mereka berharap mendapat dukungan dari berbagai pihak dalam upaya melawan korporasi yang menindas terutama dari kalangan mahasiswa yang sejatinya penyambung lidah rakyat. Jangan sampai kaum terpelajar menjadi manusia-manusia oportunis yang hanya berpikir untung rugi sehingga menjadikan mental mereka sebagai mental pejabat yang korup.
Hentikan segala macam bentuk pelacuran intelektual dengan bersekongkol dengan korporasi penindas rakyat. Berjuanglah bersama mereka para kaum papa yang bangkit dan melawan segala bentuk penindasan. Jangan sampai diri kita tergadaikan hanya demi segepok uang yang notabene hanya sementara namun menghancurkan segala reputasi yang telah lama kita bangun. Menjadi penjilat-penjilat rakus akan uang dan mendiamkan suara hati nurani adalah sebuah perbuatan yang sangat naif apalagi dilakukan oleh para kaum terpelajar. Jangan biarkan Kartini Kendeng menangis, hapuslah air matanya dengan melakukan berbagai aksi solidaritas dan bergabung dalam barisan perjuangan. Sekiranya raga tidak bisa melawan, doapun sudah cukup untuk dipanjatkan sebagai bentuk dukungan dan solidaritas. Semoga para pemimpin kita mendengar dan melihat perjuangan mereka, jika mereka tidak sanggup mengingatkan biarlah Tuhan yang Maha Kuasa mengingatkan dengan caranya. Panjang umur perlawanan, Salam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar